WANITA WAJIB BACA, Inikah Pelakor?

Gambar hanya ilustrasi
Aisyah tak mampu menahan rasa gusar yang membara. Setelah lama pergi, suaminya pulang membawa seorang wanita yang telah menjadi istrinya. Wanita itu cantik, namun Aisyah masih jauh lebih cantik dan lebih muda darinya. Tapi itu justru itu pula yang membuatnya gundah. Waktu demi waktu cemburu berkumpul. Amarah yang tak mampu dipendam lagi, membuatnya memaki-maki madunya itu di hadapan suaminya. Melihat sikap Aisyah, suaminya merasa gusar dan memperingatkannya,” Aisyah, kau telah mengeluarkan kata-kata yang bila dilebur dengan air samudera, ia akan ternoda!”
Aisyah pun terdiam dan menyadari kesalahannya. Ia tahu suaminya tidak suka dengan sikapnya. Namun ia juga tahu, suaminya menjaga diri untuk tetap memperhatikan perasaannya.
Berbeda dengan Zainab, ia berusaha sekuat hati menahan rasa emosi berkecamuk terhadap Shofiyyah, wanita yang dimaki-maki oleh Aisyah. Hingga suatu hari di perjalanan haji, Zainab meluapkan rasa cemburunya. Ketika itu unta yang ditunggangi Shofiyyah tiba-tiba menderum, tak mau berjalan. Maka sang suami pun mendatangi Zainab untuk meminjamkan untanya. Dengan sinis Zainab menjawab,” Apa? Apakah untaku akan kuberikan kepada perempuan Yahudimu itu?” Pernyataan itu sungguh menusuk hati sang suami. Selama haji, Zainab tidak diajak bicara oleh suaminya.
Shofiyyah, wanita tawanan perang besar Khaibar, putri pemimpin Yahudi dan juga istri salah satu petinggi Yahudi. Ayah dan suaminya tewas saat peperangan itu. Panglima perang umat Islam yaitu Rasulullah Muhammad saw kemudian memperistrinya dengan sebelumnya memberikan opsi memilih tetap menjadi tawanan atau menjadi istri pemimpin perang yang telah menewaskan ayah dan suaminya. Shofiyyah memilih opsi kedua. Dan pilihannya sesuai dengan tujuan dakwah Rasulullah saw. Setelah beberapa waktu mengenal Muhammad, Shofiyyah berkata,” Dulu anda adalah orang yang paling kubenci, tapi sekarang kutahu sekarang, anda jauh lebih mulia dibanding ayah dan suamiku.”
Shofiyyah, wanita yang dicemburui amat sangat oleh madunya, Aisyah dan Zainab, menjadi saksi bagi kaum Yahudi tentang kebenaran Islam.
**************
Bila saja…..
Makian Aisyah itu teruntai di sosial media.
Amarah Zainab terpampang di broadcast berita.
Bisa dibayangkan​ betapa banyak para komentator yang mencoba berempati dengan emosi mereka. Sementara apakah ada yang paham duduk perkara sebenarnya? Tidak ada yang tahu persis kecuali suami istri yang menjalani lika liku kehidupan mereka sendiri.
Bisakah kita bayangkan bila Shofiyyah dihujat sebagai pelakor? Lalu bagaimana dengan laki-laki yang menikahinya? 
Di masa kapanpun bahkan di jaman​ ini, dengan dalih apapun, laki-laki pelaku poligami tidak ada yang semulia Muhammad saw. Para istri yang suaminya poligami pun tidak ada yang seagung para ummahatul mukminin. Bisa saja Allah membuat kisah begitu damai dan tentram tanpa konflik pada rumah tangga Rasulullah saw. Namun Allah hendak menunjukkan betapa manusiawi kehidupan mereka. Manajemen konflik adalah bagian dari dinamika kehidupan juga dalam berumahtangga. 
Interaksi suami dan istri tidak akan lepas dari pasang surut permasalahan. Ketika itu terjadi, penyelesaian yang pertama harus dilakukan internal antar suami istri. Bila membutuhkan mediasi pihak lain, maka itu adalah pihak yang dengan obyektif memberi saran solusi terbaik. 
Muhammad saw menolak campur tangan ayah mertuanya ketika beliau sedang berkonflik dengan Aisyah. 
Mengadukan masalah rumah tangga ke media sosial lebih banyak membawa dampak keburukan. Walaupun di saat itu tercetuskan, empati akan berhamburan. Apalagi ketika masalah itu terkait poligami. Bahan yang paling enak digoreng melebihi pisang tanduk.
Simpati mulai dari rasa kasihan , cemoohan hingga hujatan mengalir. Hingga akhirnya sampai pada  muara, ” Gara-gara poligami nih!”
Saya tidak ingin membahas tentang poligami. Tapi permasalahan rumah tangga orang lain  biarlah itu urusan mereka. Bila tak mampu kita memberi solusi yang baik dan memperbaiki, sangat tak pantas bila kita menjadi komentator aib antar mereka. Ingat, di antara masalah antara suami istri yang diumbar di publik, ada anak, ada saudara, ada orang tua, ada mertua di sana. Jaga marwah mereka.
Jangan biarkan setan menjadikan sosial media sebagai senjata mautnya untuk menghancurkan marwah rumah tangga. Dan jangan sampai pula kita adalah salah satu setannya. 
Oleh : Wulan Saroso
loading...
loading...

Subscribe to receive free email updates: