Membongkar Argumentasi "Dibohongi Pakai Surat Al Maidah Ayat 51"

Membongkar Argumentasi "Dibohongi Pakai Surat Al Maidah Ayat 51"
Oleh Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

======

Akhir-akhir ini, banyak media tertentu yang ramai menyerang sosok Buni Yani. Dosen salah satu perguruan tinggi swasta ini kini jadi sasaran dari pendukung dan buzzer Ahok yang sedang membela diri atas kasus penistaan agama.

Kubu Ahok menganggap satu kealpaan Buni Yani dalam membuat transkrip pidato Ahok di Kepulauan Seribu adalah pangkal persoalan. Sebab, Buni Yani tidak menyertakan kata 'pakai' setelah kata 'dibohongi' dalam ucapan Ahok yang berbunyi;

"Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya. Karena dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem gitu lho. Itu hak bapak ibu, ya.”

Sedangkan dalam transkrip yang dibuat Buni Yani langsung mengacu pada, "dibohongin surat Al Maidah".

Saya lantas mengamati ucapan salah satu ahli bahasa yang ramai dipakai pendukung Ahok sebagai dasar pembelaan. Ahli bahasa itu menganggap, ucapan asli Ahok yang menyebut, "dibohongi pakai Al Maidah" tidak termasuk penistaan. 

Mungkin ahli bahasa tersebut siap dipakai pihak Ahok sebagai argumentasi yang mengantarkannya lolos dari kasus penistaan agama.

Namun, mari kita kaji argumentasi pembelaan kubu Ahok ini secara seksama.

Memang secara bahasa apa yang Ahok katakan adalah kalimat pasif dengan kata "dibohongi". Kata 'dibohongi' dalam struktur kalimat ini menjadi predikat. 

Sedangkan subjek secara langsung dari kalimat ini tak ada atau hilang. Tapi jika mengacu pada kalimat sebelumnya, yakni kata-kata, 'jangan percaya orang', maka subjek dari ucapan Ahok ini adalah si 'orang' yang Ahok minta jangan dipercaya. Sedangkan bagian 'pakai surat Al Maidah ayat 51' adalah keterangan alat.

Jadi, kalau diubah strukturnya menjadi kalimat aktif perkataan Ahok itu bisa berbunyi, "Orang membohongi anda memakai surat Al Maidah ayat 51."

Dengan kalimat seperti ini, banyak pendukung Ahok percaya diri bahwa Ahok tidak menistakan agama. Sebab yang berbohong adalah 'orang.' 

Tapi fakta bahasa pun membuktikan perkataan Ahok itu berarti Al Maidah ayat 51 adalah sebuah alat untuk berbohong. Jadi, logika bahasa dari pernyataan Ahok berarti ayat Quran bisa menunjang orang-orang untuk berbohong. 

Banyak pendukung Ahok yang memakai kasus terorisme atau penipuan Kanjeng Dimas sebagai contoh argumentasi. Sebab mereka ini dinilai pendukung Ahok memakai ayat Quran untuk berbohong. 

Dengan dasar argumentasi itu, pendukung Ahok percaya bahwa ucapan Sang Gubernur itu tidak salah dan bukan bentuk penistaan. 

Jujur, saya tidak mengetahui secara pasti ayat Quran apa yang digunakan oleh Kanjeng Dimas atau teroris. Tapi segala argumentasi ini terlihat ceroboh dan melewati satu fakta penting.

Sebab yang kerap disalahgunakan bukanlah surat, tapi pemaknaan surat. Sebab, isi surat Quran semua sama dan semua dipercaya kebenarannya oleh umat Muslim. Tapi tafsirnya yang memiliki pemaknaan beragam.

Teroris jelas memelintir sebuah penafsiran akan ayat. Pun halnya Kanjeng Dimas. Bukan ayatnya yang mereka gunakan, tapi penafsirannya.

Jelas menjadi fakta bahwa kitab Alquran dalam hal ini memuat surah Al Maidah ayat 51 itu adalah hal berbeda dengan kitab tafsir. Dalam artian ada 'Al Maidah ayat 51' adapula 'tafsir Al Maidah ayat 51'. 

Jika pendukung Ahok ini mengecam Buni Yani karena menghilangkan kata 'pakai', maka mereka pula secara tak sadar telah menghilangkan kata 'tafsir', dalam deretan argumentasi pembelaannya.

Sebab, yang mereka maksud ayat yang digunakan teroris itu terkait tafsir, bukan mengacu langsung pada ayatnya. Sebab ayat Quran dan tasfir Quran merupakan dua hal yang berbeda. 

Seluruh ayat Alquran di dunia itu sama. Sedangkan kitab tafsir Quran berbeda-beda dan banyak bentuknya. Ada tasfir Ibnu Katsir, At Thabari, atau tafsir Al Kurtubi yang dipakai kalangan Suni. Sedangkan kalangan syiah kerab memakai kitab tafsir At-Mizan.

Dalam konteks Al Maidah ayat 51, seluruh umat Islam di dunia punya pandangan yang sama. Sebab seluruhnya sepakat bahwa surat Al Maidah ayat 51 adalah;

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

(Artinya: Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka)

Nah terkait tafsir dari ayat yang berbunyi, 'barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi wali maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka'  ini pemaknaannya yang berbeda-beda.

Ada tafsir yang mengatakan kata 'wali' dalam ayat itu maksudnya adalah pemimpin. Sebaliknya, ada tafsir yang mengatakan kata 'wali' maksudnya adalah sahabat, pasangan, atau orang tua. 

Jadi, kembali kepada konteks ucapan Ahok, yang mengatakan 'dibohongi pakai SURAT AL MAIDAH AYAT 51' maka yang dimaksud itu tak lain berbohong dengan kalam, وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ.

Dan siapa ' orang yang memakai' kalam ini, tak lain adalah seluruh umat Muslim di seluruh dunia. Jadi kalau kembali mengacu pada kalimat Ahok 'dibohongi pakai surat Al Maidah ayat 51', maka konteks pemakai ayat ini adalah seluruh umat Islam tanpa terkecuali.

Lain halnya jika ucapan Ahok berbunyi 'dibohongi pakai TAFSIR surat Al Maidah Ayat 51.' Jika itu yang diucapkan Ahok maka dia menyasar ke kalangan tertentu yang punya tafsir bahwa surat itu bermakna larangan bagi umat Muslim memilih pemimpin non-muslim.

Kalau Ahok berucapan 'dibohongi tafsir Al Maidah' dia akan berhadapan secara hukum dengan kelompok Islam yang percaya pada tafsir larangan memilih pemimpin Muslim. Tapi dengan fakta yang diucapkan Ahok adalah 'dibohongi pakai surat Al Maidah ayat 51', maka yang berhadapan dengannya seluruh umat Islam.

Walhasil, jika Buni Yani lupa menuliskan kata 'pakai', maka Ahok sendiri lupa menambahkan kata 'tafsir' dalam deretan argumentasi pembelaannya. Sebab, lagi-lagi maksud dari ucapan 'ayat Al Maidah 51' dan 'tafsir Al Maidah ayat 51' adalah hal yang jauh berbeda. 

Nah, pada titik ini, Ahok sulit berkelit dari pasal penistaan. Sebab yang memakai ayat Al Maidah ayat 51 bukan politikus atau musuh politiknya, melainkan seluruh umat Islam di muka bumi. 

Dan seluruh umat Islam percaya bahwa seluruh ayat Quran, termasuk Al Maidah ayat 51, adalah alat untuk kebenaran. Jika ada yang berucap Al Maidah ayat 51 adalah alat untuk berbohong, maka secara kajian ilmiah apa pun itu adalah bentuk penistaan berat. 

Terlebih Ahok secara sadar, sengaja, dan tanpa tekanan berucap; "Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya. Karena Dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem gitu lho. Itu hak bapak ibu, ya."

Dengan argumentasi ini, rasanya agak sulit untuk berkelit. Sebab umat Islam selalu menyebut Quran sebagai 'kitab suci'. Mengapa Ahok dengan begitu saja menganggap kitab suci umat Islam ini sebagai alat untuk berbohong? 

Lagi-lagi rasionalitas orang-orang yang menganggap pernyataan Ahok bukan penistaan perlu ditelaah lebih jauh. Perlu dipertanyakan argumentasi ahli bahasa yang menganggap cap alat untuk berbohong untuk surat Al Quran bukan berarti penistaan terhadap Al Quran itu sendiri. 

Sebaliknya, argumentasi MUI yang menyatakan Ahok telah melakukan penistaan sangat kuat. Ini terlebih jika merujuk perbedaan dasar argumentasi 'surat Al Maidah' dengan 'tafsir surat Al Maidah'.

Pernyataan MUI pun bisa didukung kajian soal bahasa. Sebab, walau yang Ahok 'serang' dalam ucapannya soal kebohongan adalah subjek (orang), namun hal inilah yang jadi persoalan. Sebab orang yang disebut berbohong alias pembohong ini adalah orang yang memakai Al Maidah ayat 51. Dan yang memakai ayat itu adalah seluruh umat yang beriman pada Islam. Jadi subjek pembohong yang dimaksud Ahok secara logika adalah seluruh umat Islam.

Kalau perdebatan bahasa untuk bela diri gagal menemui hasil, muncul pula alasan ketidaksengajaan sebagai pintu Ahok untuk lolos dari jeratan kasus penistaan agama. Jujur, logika saya belum sampai untuk mencerna bagaimana sisi ketidaksengajaan ucapan orang yang sedang berpidato.

Di mana sisi spontanitas dari kejadian itu, sehingga Ahok punya argumentasi tidak sengaja berucap? Bukankah agenda itu sudah disusun sebagai rencana kerja sang gubernur.

Bukankah Ahok sadar posisinya sebagai orang yang berbeda iman dengan umat Islam? Lantas mengapa dia berbicara secara negatif isi kitab umat yang berbeda dengannya?

Kalaupun Ahok bisa lolos dari jeratan hukum, maka itu akan menjadi preseden baru. Ini berarti umat apa pun di Indonesia secara hukum kini bebas berkata 'dibohongi pakai surat Al Ikhlas', dibohongi pakai surat Al Baqarah', bahkan 'dibohongi pakai Alquran.'
loading...
loading...

Subscribe to receive free email updates: