Ketika istri membukakan pintu untukku, di waktu zhuhur siang ini, aku melihat dia menutup wajahnya. Aku bertanya: “apa yang terjadi?.”
“Si kecil.” Jawabnya pelan dan lirih.
Aku segera menuju kamar anak-anak. Aku mendapati si kecil menyendiri di atas ranjang. Aku memeluknya dan kembali mengulang pertanyaan kepada istri.
“Apa yang terjadi?”
Istri tidak menjawab. Aku meletakkan tanganku di kening si kecil. Tak ada tanda-tanda dia sakit.
“Apa yang terjadi?.” Aku kembali bertanya kepada istri.
Ternyata istri tak mau menjawab di hadapan si kecil. Aku mengajak istri menuju kamar kami.
Mulailah istri bercerita apa yang terjadi pada si kecil. Dan aku pun mengetahui apa yang terjadi setelah istri bercerita. Ternyata aku telah memahami cerita utuhnya tetapi istri hanya mengetahui sebagiannya saja.
Dan aku pun mengisahkan kepada istri apa yang tidak ia ketahui tentang si kecil.
Suatu ketika, saat itu, aku begitu ingin tidur bersama ketiga anak-anakku: Asma, Aisyah, dan si kecil. Aku sering kabur dari kamarku menuju kamar mereka dan merebahkan badanku yang tinggi di ranjang mereka.
Mereka begitu senang dengan sikapku ini. Terhadap apa yang aku lakukan ini, sebenarnya aku lebih bahagia dibanding mereka.
Tentu saja, ketika di kamar mereka, mesti ada kisah yang mesti kukisahkan untuk mereka.
Asma, umurnya 8 tahun, biasanya memintaku untuk menceritakan kisah Yusuf ‘alahissalam. Sedang Aisyah begitu senang jika dituturkan kisah Musa alahissalam dan Fir’aun atau “seorang tokoh yang baik dan tokoh jahat.” Istilah ini sering dipakai Aisyah untuk menyebut Musa dan Fir’aun
.
Adapun anakku yang paling kecil, ia selalu mendengar ksiah-kisah yang kututurkan baik tentang Yusuf alaihissalam atau Musa ‘alaihissalam.
Suatu malam, aku bertanya kepada mereka: “kisah Yusuf atau Musa?”
Asma dan Aisyah menjawab dengan sosok yang mereka sukai. Sementara si kecil tiba-tiba ingin dikisahkan tentang Umar bin al-Khattab.
Dan aku pun kagum dengan permintaannya yang asing ini karena aku tak pernah menyebut nama Umar dan mengisahkannya untuk si kecil.
Bagaimana dia tahu? Aku pun memulai kisah Umar dengan ringkas.
Aku mengisahkan si kecil saat Umar keluar di malam hari untuk mempatroli keadaan rakyatnya. Umar mendengar suara tangisan anak kecil. Sang ibu meletakkan periuk air di atas tungku api. Sang ibu mengabarkan anak-anaknya itu bahwa makanan sebentar lagi akan segera matang, untuk menghilang lapar mereka malam itu.
Aku kisahkan si kecil bagaimana Umar menangis malam itu lalu Umar segera keluar. Dan beberapa saat kemudian kembali dengan membawa keranjang besar dan berat di punggungnya. Umar sendiri yang memasak untuk anak-anak itu. Umar tidak meninggalkan mereka kecuali setelah mereka kenyang dan tertidur.
Si kecil tertidur bahagia dan senang setelah mendengar kisah Umar.
Di malam berikutnya, aku terkaget dengan si kecil karena dia memberitahukan kami bahwa dia akan mengisahkan kami kisah Umar.
“Kamu tau kisahnya, nak?”
“iya.” Jawabnya. Aku tak mampu mengungkapkan kekagumanku pada si kecil saat dia mengisahkan kisah tentang Umar.
Lalu di malam setelahnya, aku mengisahkan si kecil tentang kisah kedua dari Umar. Aku ceritakan tentang anak kecil Ibnu al-Qithbiy yang dipukul ‘Amr bin al-‘Ash. Lalu Umar memberikan cambuk kepada Ibnu al-Qithbiy untuk membalas ‘Amr bin al-‘Ash.
Pada malam berikutnya, aku menceritakan si kecil tentang ketakwaan, kekuatan dalam kebenaran, keadilan dan kelebihan lainnya yang dimiliki sahabat Umar bin al-Khatthab. Setiap malam berlalu, si kecil pasti menghafal dan mengisahkan kembali tentang Umar dan ini hampir berlalu satu bulan.
Di suatu malam, aku terkejut dengan pertanyaan si kecil:
“Ayah, apakah Umar bin al-Khatthab meninggal?.”
Aku hampir menjawab pertanyaannya tetapi aku memilih terdiam beberapa saat. Terpahamilah olehku bahwa anakku ini terkagum-kagum dengan Umar dan jiwanya telah terisi penuh dengan rasa cinta kepada Umar bin al-Khatthab.
Aku tahu bahwa dia akan sedih mendalam dan jiwanya akan terguncang jika Umar-nya telah meniggal. Dan aku memilih tak menjawab pertanyaannnya.
Si kecil kembali bertanya di malam selanjutnya: “Ayah, apakah Umar meninggal?” dan kembali aku memilih diam dan menghindar.
Di malam-malam selanjutnya aku memilih berada di kamarku saja agar si kecil tidak bertanya dengan pertanyaan yang sama.
Suatu ketika, di pagi hari, si kecil keluar bersama ibunya.
Di jalan, si kecil bertemu dengan seorang pengemis wanita yang tengah meletakkan anak kecilnya di punggungnya. Wanitu itu sedang meminta-minta makanan kepada orang yang lewat agar anaknya bisa makan.
Orang-orang di situ begitu kaget dengan perkataan anakku kepada ibu itu:
“Ibu, jangan sedih ya. Umar bin al-Khatthab akan datang membawa makanan untuk ibu dan anak ibu.”
Istriku memberikan beberapa uang kepada wanita itu.
Beberapa langkah kemudian, istri dan anakku mendapati seorang pemuda berotot menantang lelaki lemah dengan pukulan.
Anakku segera teriak di hadapan orang-orang agar mereka mendatangkan Umar bin al-Khatthab agar melerai kedzhaliman tersebut.
Istriku terheran-heran dengan apa yang terjadi karena orang-orang menoleh ke arah mereka berdua. Istriku memutuskan untuk segera kembali ke rumah.
Menjelang tiba di rumah, kembali di jalan ada seorang pengemis dengan roman muka sedih dan meminta bantuan dari istriku. Istriku pun memberinya sejumlah uang.
Dekat pintu rumah, saat menaiki dua anak tangga, istri satpam mendatangi istriku dan mengabarkan bahwa suaminya sedang terbaring di rumah sakit dan membutuhkan bantuan.
Tiba-tiba anakku berkata agak keras: “Apakah Umar bin al-Khatthab meninggal?”
Ketika mereka memasuki rumah, suara televisi agak keras. Dan seorang pembawa acara memberitakan apa yang dilakukan Yahudi terhadap al-Quds dan pemblokiran yang mereka lakukan di masjid al-Aqsha’.
Tiba-tiba si kecil mendekati televisi dan memandang gambar para tentara bersenjata yang sedang memukul orang-orang yang shalat lalu menembakkan mereka dengan timah panas.
Lalu ia berkata ibunya:
“Jadi Umar bin al-Khatthab telah meninggal?!!!!!!”
Si kecil menangis sejadi-jadinya. . .
“Umar bin al-Khatthab telah meninggal.”
“Umar bin al-Khatthab telah meninggal.”
“Umar bin al-Khatthab telah meninggal.”
Dia berlari ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya itu. Ibunya terdiam.
***
Si kecil mendatangiku dengan langkah pelan dan penuh kesedihan.
Aku memeluk dan mendekapnya lalu mengangkatnya sehingga matanya sejajar dengan mataku.
Aku tersenyum dan berkata: “Nak, ibumu sedang hamil dan dua bulan lagi akan melahirkan Umar.”
“Umar bin al-Khatthab?” Tanyanya.
“Iya. Umar bin al-Khatthab .” Jawabku.
Si kecil pun mulai tersenyum dan merebahkan dirinya kembali dalam pelukanku sambil menyebut sebuah nama:
“Umar bin al-Khatthab.”
“Umar bin al-Khatthab.”
Ah, air mataku pun mengalir dan aku mendoakan rahmat untuk sahabat Umar bin al-Khatthab.
Ananda, Umar bin al-Khatthab telah meninggal namun umat Islam yang akan melahirkan Umar tak akan mati.
Ananda, Umar bin al-Khatthab telah meninggal namun al-Qur’an yang diamalkan Umar bin al-Khatthab akan selalu ada.
Ananda, Umar bin al-Khatthab telah meninggal tetapi tak akan mati semangat, keberanian, dan azzam yang Umar wariskan kepada umat Islam.
Ananda, Umar bin al-Khatthab telah meninggal tapi umat Islam akan melahirkan seribu Umar.
____
Catatan penerjemah:
Rumah adalah surga mini untuk mewariskan cinta. Dan begitu lah para salaf dahulunya. Tak hanya ilmu al-Qur’an, kepada anak-anaknya, mereka juga mewariskan rasa cinta terhadap Abu Bakr, Umar dan sahabat lainnya.
Imam Malik menyebutkan:
كان السلف يعلمون أولادهم حب أبي بكر وعمر كما يعلمون السورة من القرَآن
“Dahulunya para salaf kerapkali mengajarkan anak-anak mereka kecintaan terhadap Abu Bakr dan Umar, sebagaimana mengajarkan surat-surat dalam al-Qur’an.”
_______
Diterjemahkan dari page Kunna Jibaalan oleh Yani Fahriansyah
Jakarta Selatan, 17 Feb. 2016
loading...
loading...